Laporan oleh Artanti Hendriyana
[unpad.ac.id, 18/4/2020] Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 terkait stabilitas sistem keuangan negara di tengah pandemi Coronavirus (COVID-19). Kebijakan perpajakan menjadi salah satu yang disorot dalam Perpu tersebut.
Menurut Dosen Departemen Hukum Administrasi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Dr. Dewi Kania Sugiharti, M.H., Perpu ini merupakan diskresi untuk menstimulus perekonomian nasional sekaligus upaya memitigasi kerugian yang mungkin timbul akibat pandemi Coronavirus di berbagai sektor.
“Kalau pajak dikejar seperti yang sudah diatur di dalam UU perpajakan dalam kondisi seperti ini, saya rasa tidak akan menjadi optimal bagi pemerintah,” ujar Dr. Dewi dalam Seminar Daring (Webinar) “Insentif Pajak di Tengah COVID-19”, Jumat (17/4) siang.
Dr. Dewi menjelaskan, pemungutan pajak akan optimal apabila kondisi perekonomian masyakarat bagus. Jika pajak di masa kedaruratan tetap dipaksakan, dikhawatirkan perekonomian masyarakat akan tambah repot.
Karena itu, dalam Perpu tersebut, ada sejumlah kebijakan perpajakan yang diterapkan. Salah satunya adalah penyesuaian tarif PPh bagi Wajib Pajak, baik Orang Pribadi maupun Badan. Dr. Dewi mengungkapkan, pemerintah telah memandang bahwa tarif PPh harus diubah.
Dalam Perpu tersebut disebutkan, tarif PPh badan turun menjadi 22% pada 2020-2021 dan 20% mulai 2022. Saat ini, tarif PPh tersebut sebesar 25%. Sementara tarif PPh Badan Go-Public sebesar 19% pada 2020-2021 dan 17% mulai 2022.
Adapun kebijakan perpajakan lainnya yang disebutkan dalam Perpu antara lain: perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), perpanjangan waktu pelaksanaaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan menjadi 9 bulan, serta pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk.
Sementara itu, Dosen Departemen Hukum Administrasi FH Unpad lainnya Amelia Cahyandini, M.H., memaparkan mengenai insentif pajak. Kebijakan ini didasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona.
Amelia menjelaskan, insentif pajak merupakan kebijakan pemerintah yang diberikan kepada individu, organisasi tertentu, hingga investor asing yang bersedia mendukung pemerintah. “Kebijakan insentif diberikan untuk memudahkan dan mendorong wajib pajak patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya,” kata Amelia.
Bentuk insentif umumnya berupa pengecualian dari pengenaan pajak, pengurangan dasar pengenaan pajak, pengurangan tarif pajak, dan penangguhan pajak.
Salah satu insentif yang diberikan adalah pada jenis pajak PPh 21. Pemerintah akan menanggung PPh Pasal 21 untuk penghasilan yang diterima oleh pegawai dengan kriteria: pegawai yang bekerja pada perusahaan yang bergerak di salah satu dari 440 bidang industri tertentu dan/atau perusahaan yang mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, memiliki NPWP, serta memiliki penghasilan bruto yang disetahunkan tidak lebih dari Rp 200 juta.
“Dengan adanya insentif ini, pegawai akan menerima penghasilan penuh tanpa potongan pajak. Pemberi kerja harus melakukan pemberitahuan tertulis atau melalui saluran lain kepada Kepala KPP terdaftar,” tuturnya.(am)*
The post Penyesuaian Pajak di Masa Pandemi Selamatkan Perekonomian appeared first on Universitas Padjadjaran.